Ahmad berumur sebelas tahun ketika ibunya (orang tua tunggal) mengantarnya untuk
kelas Qira’ati (membaca Al Qur’an). Saya suka anak-anak itu memulai belajar membaca Qur’an di awal usia, terutama anak laki-laki. Aku sampaikan hal itu pada Ahmad. Namun ia menyampaikan alasannya, bahwa ibunya
selalu berharap dapat mendengar bacaan
Al Qur’an darinya.
Ahmad memulai pelajaran Qira’atinya dan sejak itu aku berfikir ini merupakan
pekerjaan yang sia-sia. Meskipun aku sudah berusaha keras mengajarinya, ia
tampaknya belum bisa mengenal huruf-huruf hijaiyah dan tidak bisa menalar
bagaimana membacanya. Namun ia patuh untuk terus membaca Al Qur’an
seperti yang kuwajibkan untuk semua murid-muridku.
Dalam beberapa bulan ia terus berusaha sementara aku menyimak bacaannya dan terus
menyemangatinya. Di setiap akhir pekan ia selalu berkata: “Ibuku akan mendengarku membaca Al Qur’an suatu hari.” Di balik itu aku melihatnya tak bisa diharapkan. Ia tidak berbakat!
Aku tak mengenal ibunya dengan baik. Aku hanya sempat melihatnya dari kejauhan
ketika ia mengantar atau menjemput Ahmad dengan mobil tuanya. Ia selalu
melambaikan tangan kepadaku tapi tak pernah berhenti untuk masuk ke kelas.
Suatu hari, Ahmad berhenti dari mendatangi kelas kami. Aku pernah berniat akan
menelponnya tetapi kemudian berfikir mungkin ia memutuskan untuk melakukan hal
lain. Mungkin ia akhirnya menyadari akan ketiadaan bakatnya dalam Qira’ati. Aku
juga merasa lega dengan ketidakhadirannya. Ia bisa menjadi iklan yang buruk bagi
kelas Qira’atiku!
Beberapa minggu kemudian, aku mengirimkan selebaran kepada murid-muridku di rumah akan adanya acara pembacaan qira’ah Al Qur’an. Tak disangka, Ahmad (yang juga
menerima pengumuman itu) menanyakan apakah ia diperkenankan untuk tampil membaca
qira’ah Al Qur’an. Aku menyatakan bahwa sebenarnya acara ini untuk murid yang
masih aktif saja dan karena ia sudah tidak pernah hadir lagi, maka ia tidak
berhak tampil. Ia menyatakan bahwa ibunya akhir-akhir ini sakit dan tak bisa
mengantarnya ke kelas. Ia juga menyatakan bahwa dirinya masih terus berlatih
Qira’ati di rumah meskipun tidak masuk kelas.
“Ustadzah,… Aku harus ikut membaca qira’ah!,” paksanya kepadaku. Aku tak tahu apa yang menyebabkanku akhirnya memperbolehkannya ikut tampil. Mungkin karena tekad
Ahmad yang kuat atau ada bisikan hatiku yang menyatakan bahwa semuanya akan
baik-baik saja.
Malam acara pembacaan qira’ah itu telah tiba. Gedung olah raga sekolah telah dipenuhi
para orang tua murid, teman-teman dan sanak saudara. Aku tempatkan Ahmad pada
giliran terakhir sebelum aku sendiri yang akan menutup acara dengan ucapan
terima kasih dan pembacaan qira’ah penutup. Aku berfikir bahwa jika penampilan
Ahmad merusak acara ini maka itu terjadi di akhir acara dan aku bisa
“menyelamatkan” penampilan buruknya dengan penampilanku sendiri.
Pembacaan qira’ah dari murid ke murid berlangsung lancar. Mereka telah berlatih dan itu terlihat dalam penampilan mereka. Kini giliran Ahmad naik ke panggung. Bajunya
lusuh tak terseterika dan rambutnya pun acak-acakan tak tersisir rapi. “Mengapa
ia tidak berpenampilan rapi seperti murid-murid yang lain?” lintasan pertanyaan
buruk sangka langsung bergolak di kepalaku. “Mengapa ibunya tidak mempersiapkan
penampilannya? Paling tidak, sekedar menyisir rambutnya untuk acara istimewa
malam ini?”
Ia mulai membaca. Aku sungguh terkejut ketika ia mengumumkan bahwa surat Al Kahfi
akan ia bacakan. Aku tak menyangka dan tak siap dengan apa yang kudengar
selanjutnya. Suaranya begitu ringan dan lembut. Qira’ahnya sangat sempurna! Belum
pernah kudengar bacaan Al Qur’an seindah itu dari anak-anak seumurnya.
Setelah enam setengah menit ia berhenti.
Penuh haru dan berlinang air mata, aku bergegas ke atas panggung dan memeluk Ahmad
dengan gembira. “Aku belum pernah mendengar yang seindah itu Ahmad! Bagaimana
engkau bisa seperti itu?” Melalui mikrofon Ahmad menjelaskan: “Ustadzah,… ingat
tidak ketika aku mengatakan bahwa ibuku sakit? Ya, sebenarnya ia menderita kanker dan telah meninggal pagi tadi. Dan sebenarnya… ia lahir tuli.
Jadi, malam ini adalah kali pertama ia bisa mendengarku membaca Al Qur’an. Karena itu, aku ingin menjadikan ini qira’ah yang istimewa.”
Tak ada mata yang kering sepenuh gedung malam itu. Saat petugas dari Dinas Sosial
mengantar Ahmad dari panggung untuk dibawa ke Panti Asuhan, aku melihat, bahkan
mata mereka pun memerah dan sembab.
Aku berkata di dalam hati, betapa hidupku semakin kaya dengan menjadikan Ahmad
sebagai muridku. Ialah sebenarnya “sang guru” sementara aku adalah muridnya. Ialah yang mengajariku hikmah dari kesabaran dan cinta
serta kepercayaan diri. Aku juga belajar untuk memberikan
kesempatan kepada seseorang, berharap kebaikan meskipun kadang tanpa alasan
yang bisa dimengerti.
[Kiirman dari seorang rekan kerja]